SEJARAH TERBENTUKNYA
PENGADILAN NEGERI PEMATANG SIANTAR KELAS IB
I. Masa Kerajaan Pematang Siantar
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pematang Siantar merupakan daerah kerajaan. Pematang Siantar yang berkedudukan di Pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik yaitu Tuan Sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun 1906.
Di sekitar Pulau Holing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk diantaranya Kampung Suhi Haluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean, Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum Kota Pematang Siantar yaitu:
1. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang
2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota
3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, Kampung Melayu, Martoba, Sukadame, dan Bane.
4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang.
A. Masa sebelum pemerintahan Hindia-Belanda
Pada masa sebelum pemerintahan Hindia-belanda di Indonesia, tata hukum di Indonesia mendapatkan pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu dan Islam serta hukum adat. Pengaruh agama Hindu tersebut dapat dilihat pada sistem peradilannya dimana dibedakan antara perkara Pradata dan perkara Padu Perkara Pradata adalah perkara yang menjadi urusan peradilan raja yang diadili oleh raja sendiri yaitu perkara yang membahayakan mahkota, kemanan dan ketertiban negara, hukum Pradata ini bersumber dari hukum Hindu dimana Raja adalah pusat kekuasaan sedangkan perkara Padu adalah perkara mengenai kepentingan rakyat perseorangan, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa
B. Masa Pendudukan Belanda
Sejak tahun 1684 VOC banyak mengalami kemunduran ditambah dengan adanya pergeseran politik Eropa yang mengakibatkan berubahnya situasi politik di Belanda, hal tersebut mengakibatkan dihentikannya VOC dan pada tahun 1806 Belanda menjadi kerajaan di bawah Raja Lodewijk Napoleon yang kemudian mengangkat Mr. Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal yang menetapkan charter untuk daerah jajahan di Asia dimana dalam Pasal 86 charter tersebut berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap berdasarkan hukum serta adat mereka.
C. Masa pemerintahan Inggris
Setelah kekuasaan Hindia-Belanda pada 1811 dipatahkan oleh Inggris maka Sir Thomass Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Jenderal untuk P. Jawa dan wilayah di bawahnya (Palembang, Banjarmasin, Makasar, Madura dan kepulauan Sunda-kecil). Ia mengeluarkan maklumat tanggal 27 Januari 1812 yang berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Eropa berlaku juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman kota-kota (Batavia, Semarang dan Surabaya) dan sekitarnya jadi pada jaman rafles ini ada perbedaan antara susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia yang tinggal di kota-kota dan di pedalaman atau desa-desa.
D. Masa kembalinya pemerintahan Hindia-Belanda
Berakhirnya peperangan di Eropa mengakibatkan daerah jajahan Belanda yang dikuasai Inggris akan dikembalikan kepada Belanda (Conventie London 1814). Pada masa ini Pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk mengadakan peraturan-peraturan di lapangan peradilan sampai pada akhirnya pada 1 Mei 1848 ditetapkan Reglement tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman 1848 (R.O), dalam R.O ada perbedaan keberlakuan pengadilan antara bangsa Indonesia dengan golongan bangsa Eropa diama dalam Pasal 1 RO disebutkan ada 6 macam pengadilan:
1. districtsgerecht
Mengadili perkara perdata dengan orang Indonesia asli sebagai tergugat dengan nilai harga di bawah f20.
2. regenschapgerecht
Mengadili perkara perdata untuk orang Indonesia asli dengan nilai harga f.20-f.50 dan sebagai pengadilan banding untuk keputusan-keputusan districtsgerecht.
3. landraad
Merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk orang Indonesia asli dan dengan pengecualian perkara-perkara perdata dari orang-orang Tionghoa – orang-orang yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Indonesia, juga di dalam perkara-perkara dimana mereka ditarik perkara oleh orang-orang Eropa atau Tionghoa selain itu landraad juga berfungsi sebagai pengadilan banding untuk perkara yang diputuskan oleh regenschapgerecht sepanjang dimungkinkan banding.
4. rechtbank van omgang diubah pada 1901 menjadi residentiegerecht dan pada 1914 menjadi landgerecht.
Mengadili dalam tingkat pertama dan terahir dengan tidak membedakan bangsa apapun yang menjadi terdakwa.
5. raad van justisie
Terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk semua bangsa sesuai dengan ketentuan.
6. hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tingkat tertinggi dan berada di Jakarta untuk mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia.
Setelah Belanda memasuki Daerah Sumatra Utara, Daerah Simalungun menjadi daerah kekuasaan Belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan raja-raja. Kontroleur Belanda yang semula berkedudukan di Perdagangan, pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematang Siantar. Sejak itu Pematang Siantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru, Bangsa Cina mendiami kawasan Timbang Galung dan Kampung Melayu. Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematang Siantar. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Stad Blad No. 285 Pematang Siantar berubah menjadi Gemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan Stad Blad No. 717 berubah menjadi Gemente yang mempunyai Dewan.
E. Masa Pendudukan Jepang
Masa pemerintahan Jepang di Indonesia dimulai pada 8 Maret 1942 dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten untuk sementara Jepang mengeluarkan Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8 Maret No.1 yang menyatakan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Untuk proses peradilan Jepang menetapkan UU 1942 No. 14 tentang Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon, dimana dengan UU ini didirikan pengadilan-pengadilan yang sebenarnya merupakan lanjutan dari pengadilan–pengadilan yang sudah ada:
1. Gun Hoon
Pengadilan Kawedanan, merupakan lanjutan dari districtsgerecht.
2. Ken Hooin
Pengadilan kabupaten, merupakan lanjutan dari regenschapsgerecht.
3. Keizai Hooin
Pengadilan kepolisian, merupakan lanjutan dati Landgerecht.
4. Tihoo Hooin
Pengadilan Negeri, merupakan lanjutan dari Lanraad.
5. Kooto Hooin
Pengadilan Tinggi, merupakan lanjutan dari Raad van Justisie.
6. Saikoo Hooin
Mahkamah Agung, merupakan lanjutan dari Hooggerechtshof.
Masa pemerintahan Jepang ini menghapuskan dualisme di dalam peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No.2 ditetapkan bahwa Tihoo Hooin merupakan pengadilan buat segala golongan penduduk, dengan menggunakan hukum acara HIR.
Pada zaman Jepang berubah menjadi Siantar State dan Dewan dihapus. Setelah Proklamasi kemerdekaan, Pematang Siantar kembali menjadi Daerah Otonomi. Berdasarkan Undang-undang No.22/ 1948 Status Gemente menjadi Kota Kabupaten Simalungun dan Wali Kota dirangkap oleh Bupati Simalungun sampai tahun 1957.
Berdasarkan UU No.1/ 1957 berubah menjadi Kota Praja Penuh dan dengan keluarnya Undang-undang No.18/ 1965 berubah menjadi Kota, dan dengan keluarnya Undang-undang No. 5/ 1974 tentang-Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berubah menjadi Kota Daerah Tingkat II Pematang Siantar sampai sekarang.
F. Masa Kemerdekaan Indonesia
a. 1945-1949
Pasal II Aturan Peralihan UUD’45 menetapkan bahwa: segala badan negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Hal ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku sepanjang belum diadakan perubahan. Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia maka Belanda mengeluarkan peraturan tentang kekuasaan kehakiman yaitu Verordening No. 11 tahun 1945 yang menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilakukan oleh Landgerecht dan Appelraad dengan menggunakan HIR sebagai hukum acaranya.
Pada masa ini juga dikeluarkan UU UU No.19 tahun 1948 tentang Peradilan Nasional yang ternyata belum pernah dilaksanakan
b. 1949-1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi
C. 1950-1959
Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan beberapa pengadilan termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
d. 1959 sampai sekarang terbitnya UU No. 14 Tahun 1970
Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di lingkungan pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964). Kemudian pada tahun 1970 ditetapkan UU No. 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
II. KESIMPULAN
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.03.PR.07.02 Tahun 1981 tanggal 17 Februari 1981 maka Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pematang Siantar adalah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1986 maka batas wilayah Kotamadya Pematang Siantar diubah dan diperluas dengan memasukkan sebagian wilayah dari Kabupaten Simalungun kedalam Wilayah Kotamadya Pematang Siantar yang terdiri dari 9 (Sembilan) desa yaitu : Desa Nagahuta,Desa siopat suhu, desa Martoba, Desa Bah Kapul,Desa Pematang Marihat, Desa Sukaraja, Desa Baringin, Desa Pansur Nauli, Desa Simarimbun, Desa Tambun Nabolon.
Setelah Pengadilan Negeri Simalungun diresmikan pada 2 Oktober 1982,maka Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pematang Siantar,berdasarkan Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 1981 Kota Pematang Siantar terbagi atas empat wilayah kecamatan yang terdiri atas 29 Desa/Kelurahan dengan luas wilayah 12,48 km² yang peresmiannya dilaksanakan oleh Gubernur Sumatra Utara pada tanggal 17 Maret 1982. Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu:
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1986 tanggal 10 Maret 1986 Kota Pematang Siantar diperluas menjadi 6 wilayah kecamatan, di mana 9 desa/Kelurahan dari wilayah Kabupaten Simalungun masuk menjadi wilayah Kota Pematang Siantar, sehingga Kota Pematang Siantar terdiri dari 38 desa/kelurahan dengan luas wilayah menjadi 70,230 km² Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu:
Pada tanggal 23 Mei 1994, dikeluarkan kesepakatan bersama Penyesuaian Batas Wilayah antara Kota Pematang Siantar dan Kabupaten Simalungun. Adapun hasil kesepakatan tersebut adalah wilayah Kota Pematang Siantar menjadi seluas 79,9706 km².
Pada tahun 2007, diterbitkan 5 Peraturan Daerah tentang pemekaran wilayah Kota Pematang Siantar yaitu:
Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pematang Siantar terdiri atas:
Dengan demikian jumlah Kecamatan di Kota Pematang Siantar ada sebanyak delapan kecamatan dengan jumlah kelurahan sebanyak lima puluh tiga Kelurahan.
Kota Pematang Siantar terletak pada garis 2° 53’ 20” - 3° 01’ 00” Lintang Utara dan 99° 1’00” - 99° 6’ 35” Bujur Timur, berada di tengah–tengah wilayah Kabupaten Simalungun.
Luas daratan Kota Pematang Siantar adalah 79,971 Km² terletak 400-500 meter di atas permukaan laut.
Foto gedung kantor Pengadilan Negeri Pematang Siantar Kelas IB
Saat ini Pengadilan Negeri Pematang Siantar berlokasi di Jalan Jendral Sudirman No. 15, Kota Pematang Siantar, Provinsi Sumatera Utara, berdiri diatas tanah seluas 2876 m2 (dua ribu delapan ratus tujuh puluh enam) meter persegi, yang terdaftar dalam dokumen kepemilikan bersertifikat Hak Pakai atas nama Pemerintah RI cq. Mahkamah Agung R.I Nomor 02.03.01.04.4.00129 tanggal 24 Juli 2013 yang diterbitkan oleh BPN Kota Pematang Siantar, dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Tanah Negara (PT Bank Rakyat Indonesia Cab. P.Siantar)
- Sebelah Timur : Tanah Negara (Kantor Kejaksaan Negeri Pematang Siantar)
- Sebelah Selatan: Tanah Negara (Jalan Sutomo)
- Sebelah Barat : Tanah Negara (Jalan Sudirman)
Gedung Pengadilan Negeri Pematang Siantar terdiri dari :
Rumah dinas Pengadilan Negeri Pematang Siantar terdiri dari :